Minggu, 08 September 2019

Sembilan September

Kutemukan dia yang semakin berbeda. Aku hanya takut. Sesuatu yg buruk terulang kembali.

Dulu, sekian tahun yg lalu aku pernah jatuh cinta. Jatuh sejatuh jatuhnya. Kemudian menjadi lemah.
Dulu aku pernah menanti cinta. Menerima segalanya. Kekurangan dan kelebihannya. Keadaannya. Orang tuanya. Agamanya. Kasih sayangnya. Perlakuannya. Prilakunya. Teman-teman dan orang sekitarnya.

Dulu aku menunggu cinta. Dia kemudian datang, tak lama, lalu pergi, dengan wanita pilihannya.
Dulu aku menanti kasihsayangnya. Menanti kedatangannya. Menantinya menggenggam tanganku di depan orang tuanya.
Yang kemudian pada akhirnya aku percaya. Janjinya melindungiku hanya dusta.

Hari ini aku kembali terjatuh. Di depan sesuatu yg bernama cinta. Dan kemudian kembali melemah. Dengan berusaha tidak akan mengulang kejadian yg sama.
Suatu hari lelaki itu datang. Menyulut api cinta yg sempat padam. Hari-demi hari api itu kembali menyala. Namun entah kenapa hari ini nampak semakin meredup.

Bersyukur aku lebih kuat dari sebelumnya.
Meski hati ini merasa gelisah. Ragu. Takut. Kehilangan untuk kesekian kalinya.

Aku kembali mempersiapkan diri. Siapa tau kata "aku bosan" segera keluar dari ketikan jempolnya.

Akupun kembali mempersiapkan diri. Mengemasi segalanya dari dalam hatiku. Agar nanti aku bisa segera pergi.

Kamis, 08 Agustus 2019

Delapan Agustus


Sejarah Kehidupan

Dua puluh dua tahun lalu, di tanggal yang sama dengan hari ini, tepat setelah orang-orang selesai mengumandangkan adzan subuh, di sebuah ruangan rumah sakit, sepasang suami istri menimang putri pertamanya yang kemudian diberi nama “Nabila”. Sang istri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, yang kala itu melahirkan tanpa didampingi oleh seorang ibu. Di ruangan yang berbeda namun di hari yang sama, ada seorang wanita tua, sedang terbaring lemah, hanya mampu menatap cucu ketiganya tanpa bisa menyentuh bahkan menggendong, dia adalah ibu dari istri tersebut.

Tepat dua minggu setelah kelahiran putri pertamanya, pada tanggal 24 Agustus 1997. Perempuan tangguh itu kemudian ditinggalkan ibunya tercinta menghadap Yang Maha Kuasa. Seorang anak bungsu yang diluar sana dipandang orang sebagai anak manja, ketika diberi kebahagiaan setelah memandang putri pertamanya, kemudian mendapat hujaman keras setelah ditinggalkan ibunya. Anak bungsu yang kemudian tidak punya siapa-siapa untuk mengajarinya menimang anak kala itu dibantu oleh seorang wanita paruh baya di samping rumahnya.

Tidak lama berselang, sang ayah memohon izin untuk menikah lagi, dengan modal hutang dengan saudagar kaya. Dua saudaranya mendukung pernikahan tersebut, tertinggal lah sang anak bungsu seorang diri tidak bisa mengelak dengan keputusan tersebut. Sang ayah menikah, anak bungsu dan suaminya pindah tempat tinggal ke rumah mertua, dengan penuh harap semoga dibantu belajar menimang anaknya.

Tidak lama di sana, dimusuhi ipar dan ibu mertua menjadi konsumsinya sehari-hari, badannya yang dulu berisi akhirnya menjadi kurus kering kerontang. Masalah tak kunjung henti bertubi-tubi menghujamnya. Hingga sang suami akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah rumah demi kebahagiaan istri dan anak pertamanya. Pelan dan perlahan, tidak terasa sebuah rumah telah selesai dibangun, kokoh, kuat, beserta penghuni rumahnya yang juga sangat kuat.
Dua puluh dua tahun sudah berlalu, kini anak bungsu sudah tidak lagi menggendong anaknya. Kini dia sudah bisa menggandeng lima orang anak yang selalu menguatkannya. Kokoh sudah hatinya dengan berbagai cobaan. Mulai dari dimusuhi, dicaci maki, hingga permasalahan ekonomi.


Tulisan Manis itu... semacam surat cinta yang membuatku semakin merasa kelam

Tidak banyak yang berbeda dengan hari kemarin, hanya saja rasanya percakapan WA penuh dengan pesan yang berisi doa dan ucapan. Perasaanku sama dengan hari kemarin, tidak begitu tertarik dengan perayaan tahunan. Meski nampaknya begitu menikmati dengan doa dan ajakan traktiran. Itu hanya sandiwara untuk menghargai sebuah ucapan.

Setengah hari berjalan. Ada sebuah pesan masuk dari seorang teman. Nampaknya sebuah ucapan spesial. Yang kemudian kubaca dengan penuh haru. Cukup berkesan dan meninggalkan bekas di hati. Meski sempat kupikir tidak biasanya dia semanis ini, namun pikiran aneh perlahan kutepis jauh-jauh, agar menghindari hal yang tidak wajar dirasakan oleh seorang teman.

Ya, dia seorang laki-laki. Sahabat seperjuangan ketika berorganisasi di kampus dulu. Entah kenapa hubungan yang dulu kupikir sudah renggang kemudian saat ini mendekat kembali. Tidak seperti biasanya. Kebingungan itu kubiarkan pergi jauh-jauh, kemudian terganti dengan bayangan kata-kata manisnya dalam sebuah tulisan tadi pagi.

Hingga akhirnya kusadarkan kembali diriku dengan kata-kata seorang teman..

“laki-laki baik bukan berarti suka”.

Ya, baper itu manusiawi. yang penting adalah bagaimana kita bisa menata hati.


Semangkuk Bakso dan Secangkir Teh Manis

Dalam perjalanan kehidupan setiap tahunnya, tentu ada resolusi yang diharapkan bisa tercapai, entah itu karir di bidang pekerjaan, akademik, maupun keahlian yang ingin dipelajari dan digeluti.
Resolusi tahunan yang sudah mampu dicapai rasanya terasa hampa jika hanya dibiarkan berlalu tanpa kesan.

Sepulang dari rapat tadi sore, aku memutuskan untuk pulang kerumah menjemput perempuan tangguh, dengan harapan bisa merayakan kebahagiaan bersamanya, dengan penuh cinta, memberinya sedikit tawa karena sudah berjuang selama dua puluh dua tahun ini. Namun ajakan itu ditolak begitu saja karena dia sudah merasa lelah bekerja seharian.

Baiklah, kuputuskan untuk merayakannya sendiri.

Ditemani semangkuk bakso dan secangkir teh manis yang akhirnya bisa kubeli dengan uang hasil kerja kerasku sendiri.

Mungkin bagi sebagian orang terlihat biasa, namun bagiku rasanya ada kepuasan tersendiri. Taklupa kubungkus satu untuk perempuan tangguhku itu. Dengan senyum sumringah nampaknya dia begitu senang dengan isi kresek yang kubawa. Tak lupa dengan simanis terang bulan untuk lelaki tampanku yang selalu siap memberikan bahunya untuk menjadi sandaran putri sulungnya yang manja ini.

“Bah. Ma. Mohon doanya. Agar bisa selalu membuat kalian bahagia..”

Minggu, 11 Februari 2018

Coretan Senja Kinara

Sayang,
tangisku hari ini tanpa alasan.
Senyumku kemarin penuh rindu,
dan kau berlalu begitu saja

Sayang,
aku akan terus diam mematung menantimu di ujung senja
hingga sabarku pupus dalam hembusan angin malam

Sayang,
aku buta.
tak mampu bedakan dusta, cinta, dan sandiwara.

Aku benci rinduku yang menggunung
yang tak lagi kau hiraukan.

(Nabila, 110218, Banjarmasin)

Rabu, 24 Januari 2018

Save Meratus

Adakah Kau Dengar Jerit Hutan Kami
(Nabila) 

Indahnya meratus nampak jelas kutatap
Bersama debur angin dari puncak gunung
Jelas aku tertegun
Telah nampak hutan-hutan rimba di kaki gunung
Jeritnya terdengar riuh
Tangisnya ledakkan sunyi
Pohon-pohon terluka
Hampir habis ditebang kapitalis bengis
Tanah gersang menganga
Lihatlah di jantung rimba itu
Rumah-rumah kami anak negri
Lihatlah balai yang terbelah
Adakah kau dengar jerit hutan kami
Hutan rimba adalah nafas kami
Begitu serakahnya kau kapitalis berwatak imprialis
Adakah kau dengar jerit hutan kami
Adakah pula kau lihat tanah gersang dan menganga
tempat kami terkubur di dalamnya

Banjarbaru, 17 April

Dia masalaluku



Puisi ini dia berikan tak berjudul,
judul ini kubuat sendiri untuknya,

Celoteh Senja
(Oleh AS Bayu)
Lihatlah, lihat!!
Semuanya kini buta
Manakala semburat senja terseret arah
Mengibaskan gemintang yang luruh di angkasa raya
Bagai cinta yang dibuai dusta
Tahukah engkau wahai kasih?
Tentang hikayat sang bayu yang meniup mesra jelalat sang debu?
Ketika rimbun perdu gugur
Saat pelangi tak lagi berwarna
Dan, ketika sang pena tak sanggup lagi abadikan kisah ini
Ia murka menjelma terik
Tak kasat mata, namun bisa hancurkan kehidupan
Inilah makna sebuah impian yang kau rindu dulu
Semua takkan bisa terulang
Sejarah,
Namun kita bisa potretkan sejarah baru yang lebih indah.
Bandung, 07 April 2016

Buta, Tuli, dan Bisu, "Cinta" katanya


Aksara Asmara Buta
(Nabila)
Huru hara cinta bak melodi yang mengayun mendayu
Gamang menggerayangi nafas manusia setengah tua
Katanya merah jambu warnanya
Sketsa manusia durjana yang tengah memintal pita asmara
Yang menerima begitu saja cinta dari aksara-aksara buta
Sebab sudah lestari di mata dunia
Terus dan terus melampaui tahun-tahun
Tanpa sadar bola-bola api terus menerus menghujami diri
Seakan siap membakar sang pemuja hati
Tanpa perduli hakikat diri dan cinta sejati
Banjarmasin, 14 Februari 2017